Tahuna, kliktimur.com
Situasi buruk bahkan menyedihkan pasca pilkada di kabupaten Sangihe santer jadi bincangan hangat warga yang sering menyebut Tanah Tampungan Lawo. Betapa tidak, dua partai yang kurun waktu 15 tahun terahkir, silih berganti merebut kuasa yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) juga Partai Golongan Karya (Golkar) harus bertekuk lutut di salip partai Nasdem Sangihe pada pilkada 27 November 2024 atau bulan yang baru lewat.
Lantas, bagaimana mungkin dua partai yang memiliki kepengurusan lengkap, miliki basis yang selama ini mengangkangi semua partai di didaerah ini, terjerembab jauh ke kubangan kekalahan. Menyaring pendapat publik, dua partai yang milik infrastruktur lebih memadai dibanding yang lain tentu punya alasan mendasar sebab musabab kekalahan.
Politisi senior yang intens mengamati perpolitikan didaerah ini, mengemukakan, dua partai yang tampak tak berdaya setelah diumumkan pemenang pemilukada Sangihe, kali ini menorehkan sejarah kelam yang butuh energi besar untuk mengembalikan eksistensinya. Selain Partai Golkar yang mempertahankan figur lawas yang tak laku dijual, PDIP saling serempet antar kader, memasukan figur luar partai juga bukan asli daerah.
Terutama PDIP Sangihe, dua kali pilkada yakni 2017 dan 2024, mengalami kegagalan total. Khusus di 2024 pertahanan parpol besutan Megawati Soekarno Putri ini jebol menyisahkan kekecewaan mendalam bagi seluruh pencinta PDIP. Ikwal persoalan yang kemudian merusak soliditas internal moncong putih ini, yakni berawal dari ketidakjelian ketua PDIP Sulut Olly Dondokambey (OD) Cs, dalam menyimpulkan pasangan calon, tak lagi melalui proses demokratis yakni penjaringan terbuka, tapi dengan kuasanya menyimpulkan figur eksternal PDIP karena kedekatan emosional.
Meloloskan kakak istri tercintanya Olly, yakni Rinny Tamuntuan kelahiran Tomohon, dan menyepelekan figur internal PDIP, adalah sumber persoalan. Pemaksaan kehendak mencalonkan Tamuntuan bukan putri asli daerah dan menggeser figur internal PDIP yang sebenarnya punya hasrat yang sama ingin berkuasa, jadi pemicu pertahanan PDIP ambruk total.
Hal ini kemudian diperparah lagi dengan kebijakan dadakan, jelang penceblosan, antara lain menghempaskan ketua PDIP Sangihe Hironimus Rompas Makagansa (HRM) yang sedari awal diwanti wanti mendapat posisi ketua DPRD, justru diberi ke sekretaris PDIP Ferdy Sondakh sekaligus mencopot ketua PDIP Sangihe yang dipegang HRM.
Perubahan kepemimpinan di partai pada detik detik pilkada dilaksanakan adalah kebijakan paling konyol yang dimotori langsung Fransiscus Andi Silangen (FAS) yang kini ketua DPRD Sulut atau suami tercinta dari Rinny Tamuntuan, dengan cara mendiskreditkan HRM dan mendaulat Ferdy Sondakh memegang sekaligus dua posisi penting tanpa pertimbangan matang.
Ferdy Sondakh sebagaimana disebut sebut, kader tua PDIP yang belakangan tertawa terbahak bahak diatas kerusakan PDIP, menyusul disebut sebut ikut bermain dalam kecerobohan menguntungkan pribadinya, demi memenuhi hasrat jabatan di partai dan di DPRD Sangihe. Oknum ini adalah pihak yang paling bertanggungjawab.
“Dia selaku motorisator PDIP sama sekali tak miliki militansi tak cerdas meredam kegaduhan internal. Dia lakukan pembiaran, ikut melengserkan HRM, menguburkan mimpi Olly Dondokambey dan merusak eksistensi PDIP, apalagi dalam proses pilkada, dirinya diduga sibuk bersama sejumlah politisi partai lawan.” Ungkap Politisi moncong putih yang secara resmi hengkang saat pilkada, berinisial ML.
Lantas seperti apakah cara mengembalikan eksistensi yang sudah remuk di kubu dua partai pada masa masa mendatang? Sejumlah pengamat mengemukakan bahwa evaluasi regenerasi old patut dilalukan dan hari ini mulai diberi peran menyusul sejumlah regenerasi Milenial berhasil masuk ke DPRD Sangihe.
Ferdy Sondakh yang kini dengan akal bulus merebut Jabatan strategis tanpa hirau kerusakan banteng, harus segera dieliminasi dari kepartaian termasuk posisinya sebagai ketua DPRD, karena sama sekali tak akan memberi pengaruh bagi perbaikan eksistensi PDIP Sangihe kedepan. “Pak Ollly patut lakukan itu, atau PDIP Sangihe terkubur.” Ujar sejumlah Pengamat.
Demikian halnya di kubu partai Golkar Sangihe Jabes Ezar Gaghana (JEG) sebagai ketua dengan perolehan terendah di pilkada 2024, tanpa tunggu di kudeta, segera hengkang dan pamit setelah menjadikan Partai Golkar seperti aset pribadinya. JEG harus mengajukan permohonan pengunduran diri dan menyerahkan legitimasi kepengurusan ke generasi muda yang juga sudah berada diposisi strategis baik di eksekutif sebagai wakil Bupati terpilih maupun dilegislatif.
“Saya sendiri sebagai kader Golkar juga siap mundur dan istirahat total dari perpolitikan Sangihe.” Pungkas ‘Sespri’ JEG Nader Baraja di hadapan sejumlah media belum Lama. Aktor aktor perpolitikan diinternal PDIP maupun Golkar FAS, FS, OD, HRM, JEG hingga berita ini diturunkan belum berhasil dikonfirmasi. Semua nomor ponsel pribadi sedang tidak aktif.***
Editor / Penulis MP
Web : Yamamoto
Eksplorasi konten lain dari Kliktimur
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.