Nusa Utara, kliktimur.com – Mencermati situasi kehidupan di lintas batas, masyarakat Kepulauan Sangihe, Sitaro juga Talaud sepertinya perlu mengevaluasi sejauh mana tingkat kesejahteraan masyarakat di tiga daerah ini.
Apakah ada kesetaraan dengan wilayah perbatasan lain atau telah jauh tertinggal seiring bertambahnya jumlah penduduk. Jika ada pengecualian dan merasa dianaktirikan, masyarakat Nusa Utara harus kembali bangkit mengelorakan permintaan perhatian khusus yang patut harus segera didengar pemerintah pusat.
Seperti contoh belum dijawabnya aspirasi terbentuknya daerah otonom baru, kota Melonguane Selatan, Kota Tahuna, cikal bakal kabupaten Sangihe Selatan termasuk penambahan anggaran untuk perkuat sabuk pengamanan diperbatasan. Perlu harus ada sikap tegas terutama masyarakat di tiga pulau yang bersebelahan dengan beberapa negara tetangga, sepertinya dipaksa puas menikmati kemelaratan.
“Itulah sebabnya jika tiga daerah otonom di lintas batas, Sangihe, Sitaro, Talaud, termasuk dewannya masing masing terhalang oleh moratorium dan pembatasan pembatasan oleh sejumlah faktor, maka rakyat keseluruhan perlu duduk bersama, kepalkan tangan dan gelorakan aspirasi warga perbatasan lewat sebuah kongres rakyat di perbatasan. Sebab yang hidup sejahtera saat ini selain pemangku kepentingan, Legislator dan pengguna uang rakyat lainnya, termasuk kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dibanding rakyat jelata seperti bumi dan langit perbedaannya.” tegas Ketua Gerakan Perjuangan Masyarakat Perbatasan (GPMP) Drs. Gabriel Mandiangan saat berdiskusi dengan kliktimur.com.
Tak lupa dia juga menambahkan bahwa insan pers di daerah, sesungguhnya menjadi tombak untuk kemakmuran rakyat, juga harus diberi kehidupan yang layak, tak sekadar disodorkan atau berebutan baju bekas, sisa anggaran dari segala kepentingan. Pers adalah pintu berkat buat wilayah di manapun harus diberi kehidupan yang lebih manusiawi.
Rakyat perlu mengelorakan semangatnya untuk menentukan sikap tegas, bahwa proses pemiskinan terhadap daerah di lintas batas terutama di tiga kepulauan ini semakin jelas.
“Padahal pemerintah ada, karena ada rakyat. Sampai kapan rakyat di di exploitasi dan dipaksa puas di saat kalian terus menikmati hidup lebih dari layak.” sembur Mandiangan.
Pihaknya dalam diskusi juga mengemukakan masyarakat di tiga daerah ini harus diberi pencerahan, dicerdaskan, jangan hanya puas dengan perhatian pusat yang setelah 20 tahun terakhir, seperti dibiarkan merana, seiring bertambahnya jumlah penduduk, masyarakat tetap miskin, sulit menempuh pendidikan tinggi dan hidup jauh dari kategori layak sebagai warga negera yang terus menjaga perbatasan dan menjunjung tinggi NKRI.
Puluhan ribu Honorer dan ASN di tiga kabupaten ini, sepatutnya harus diangkat harkat dan martabat mereka, ada honorer yang hanya dibayar 600 ribu rupiah, keputusan ini adalah sebuah penghinaan bagi rakyat miskin di lintas batas. Lalu mereka dipaksa untuk bekerja maksimal, ini adalah sebuah proses bernegara yang ceroboh dan fatal. Sementara di sektor lain, uang bergelimpangan hanya untuk orang per orang.
“Dewan legislator kedepan harus punya tenggang rasa, tak sekadar gagahan dihadapan rakyat, lalu memperkaya hidup pribadi, tanpa peduli nasib rakyat dari waktu ke waktu dipaksa menikmati kemelararatan secara permanen.” tukas Mandiangan.
Disela diskusi, Mandiangan mengakui dan respek kepada penjabat Bupati Sangihe dr Rinny Tamuntuan. Karena di tengah keterbatasannya dan beban berat yang harus dipikul, masih menyempatkan waktunya, turun membantu masyarakat miskin sekalipun itu hanya untuk senyum sejenak rakyatnya. Sama seperti yang dilakukan para Bupati di dua wilayah berdampingan, Kabupaten Kepulaun Sitaro Eva Sasingen dan Kabupaten Kepulauan Talaud Elly Lasut.
Lantas apa alasannya kita harus mendorong kongres rakyat kepulauan harus segera digelar?
Secara blak blakan Mandiangan mengatakan bahwa aspirasi kita untuk hidup lebih layak dilintas batas ini tersumbat oleh banyak faktor. Salah satunya adalah lemahnya bargaining posisi dengan pemerintah pusat, Legislator yang asal saja dipilih tanpa mempertimbangkan kapasitas. Perjuangan mereka hanya itu itu saja dari waktu ke waktu, tanpa ada gagasan berani untuk merubah nasib warga dilintas batas.
“Itulah sebabnya kongres rakyat harus dilakukan dan kita semua secara sukarela hadir pada penghujung tahun ini untuk menentukan sikap, agar kesejahteraan itu dibagi rata dan pusat perlu mengalokasikan dana lebih realistis menjawab kebutuhan warga kepulauan Nustar atau kita cabut bersama sama bendera merah putih di lintas batas sebagai bentuk kesesalan dan protes.ujar Mandiangan.
Tokoh masyarakat kepulauan sangihe yang juga sependapat dengan gaungan untuk perhatin khusus bagi masyarakat dilintas batas Cristofel Hangau mengemukakan, bukan ibunda pertiwi yang salah mengandung, sehingga kita terlahir sebagai masyarakat yg berdiam dikawasan perbatasan yg senantiasa setia dan diminta utk menjaga daerah perbatasan NKRI. Tetapi mirisnya masyarakat hanya terpasung pada nomenklatur daerah perbatasan yg terbatas dan dibatasi. Kapankah hal ini akan berakhir?
“Kalau sekiranya bisa disharing apakah bisa dimohon kiranya bergantian dengan daerah lain utk menjadi daerah perbatasan? pikirkan kembali penggunaan slogan Daerah perbatasan sebagai serambi depan NKRI jika pemerintah dan masyarakatnya selalu dibatasi .”Kunci Hangau.
Editor / penulis : Meidi Pandean,SH
Eksplorasi konten lain dari Kliktimur
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.