Wamena,kliktimur.com
Walaupun hingga saat ini tidak pernah dibantu oleh pemerintah, sebanyak empat kelompok tani Lestari Morogane di Distrik Piramyid Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua Pegunungan terus berupaya keras melakukan pertanian padi.
“Selama 52 tahun berusaha membudidayakan padi, banyak kendala yang kami hadapi. Mirisnya, walaupun kami sudah pernah mengajukan permintaan kepada pemerintah, kami tidak juga pernah dibantu,” kata mantan Ketua Kelompok Tani Lestari Moragame, Gayus Wenda dalam suatu perbincangan dengan Kliktimur.com di Distrik Piramyid, Sabtu (19/10-2024) lalu.
Ia menuturkan, pada tahun 1982 lalu, pihaknya pernah mengajukan bantuan kepada pemerintah, baik bantuan bibit, pupuk, dan hal-hal yang bersifat teknis pertanian tapi tidak mendapat tanggapan apa-apa.
Ia menjelaskan, keempat kelompok tani tersebut pernah juga mengumpulkan uang untuk membeli mesin penggiling padi secara swadaya. Uang yang terkumpul mereka serahkan kepada seorang misionaris berkebangsaan Jerman yang bertugas di Distrik Piramyid.
“Mesin penggiling yang kami pakai saat ini, kami beli dengan cara patungan dari semua anggota kelompok. Misionaris asal Jerman itu yang membantu kami membeli. Setelah beberapa waktu digunakan dan mesin itu mengalami kerusakan, tidak ada yang bisa memperbaikinya,” tutur Gayus.
Sekretaris Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Padi Lestari Moragame, Hambema Wenda secara terpisah mengatakan, masalah utama yang dihadapi kelompok tani di distrik mereka adalah kekurangan sarana penunjang, baik ketika menggarap sawah maupun saat panen.
“Kami sudah sering mengajukan proposal permohonan bantuan alat kepada pemerintah, baik di tingkat kabupaten maupun provinsi. Namun hingga saat ini, tidak direspon sama sekali. Kami butuh mesin penggiling padi, mesin pembabat rumput, mesin perontok padi, gudang penyimpanan beras, dan perbaikan irigasi. Kami juga berharap Dinas Pariwisata bisa membantu kami membangun pondok istirahat bagi petani,” ujarnya.
Habema juga mengatakan, ia bersama kelompok pemuda yang mengelola areal persawahan milik keempat kelompok tersebut adalah generasi ketiga.
“Irigasi sawah dibangun secara gotong royong oleh generasi pertama. Mereka hanya menggunakan peralatan sederhana berupa cangkul dan sekop. Makanya, kolam irigasi yang dihasilkan tidak sesuai dengan luas persawahan yang diairi,” katanya.
Ia menjelaskan, petani di Distrik Piramyid juga menghadapi juga permasalahan pemasaran hasil produksi, sehingga para petani hanya menjual hasil produksi mereka ke kios-kios di kampung. Sebab jika dijual langsung ke pasar umum sering tidak laku.
“Jika sudah dalam keadaan terjepit, kami terpaksa menjualnya kepada pedagang di luar Papua dengan harga 1,75 juta untuk 50 kg. Biaya transportasi kami juga tinggi. Satu orang petani harus mengeluarkan biaya transportasi sebesar Rp.100 ribu pergi-pulang,” paparnya.
Saat di tempat penggilingan, sambungnya, setiap 50 kg yang digiling, petani harus memberikan 10 kg kepada pemilik mesin giling sebagai sewa.
Menurut Habema, akhir bulan Oktober ini para petani akan panen di areal sawah seluas 12 ha. Namun mereka lagi-lagi jadi bingung karena belum memiliki mesin penggiling sendiri dan kendala pasar. Sementara Ketua Kelompok Petani Padi Tibigai di Kampung Yumbun, Josep Tabuni yang ditemui terpisah juga mengeluhkan hal serupa. Ia mengatakan, kelompok yang dipimpinnya itu mulai bertani padi sejak 1977 sering mengalami kerugian saat menggiling padi mereka ke kota. Padi yang digiling sering dicuri orang. Selain itu, paparnya, irigasi juga merupakan tantangan yang tidak ringan, terutama di musim penghujan. Debit air yang tinggi mengakibatkan padi terendam. Sedangkan ikan-ikan hanyut ke Sungai Baliem.
“Kami memiliki tiga sumber air yang tidak pernah kering. Makanya, saat musim hujan, budidaya ikan terganggu. Saat banjir, ikan-ikan pada hanyut dan padi terendam air,” kata Rocki Wenda, Pembina Kelompok Persawahan dan Pertanian Tibigai. Menurutnya, para petani binaannya saat ini juga membudidayakan beberapa jenis ikan seperti ikan mas, mujair, lele jumbo, dan lele biasa, namun mereka terkendala pada pemasaran karena tidak memiliki tempat penyimpanan yang memadai agar menjaga ikan tetap hidup sampai ke tangan konsumen.
“Saat di pasaran, harga ikan yang biasanya Rp.200 ribu per cucu bisa turun drastis menjadi Rp.50 Ribu karena kondisinya sudah tidak segar lagi,” katanya. (gadiel gombo)
Editor : RL / MP
Web. : Yama
Eksplorasi konten lain dari Kliktimur
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.