Catatan Kilas Balik (Bagian dua Habis) : Meidi Pandean,SH
Masa silam itu sudah berlalu, jadi kenangan saja. Seburuk buruknya pemimpin lalu lalu 20 Tahun terahkir, mereka pernah membangun daerah ini, mereka pernah jadi panutan, tapi demikianlah sistem pemilihan langsung itu. Para kandidat juga perlu menoleh sejarah, parpol dalam sistem rekrutmen perlu evaluasi, agar pemimpin itu benar benar mampu merumuskan dan memperjuangan sebuah perubahan nyata dan dinikmati masyarakat
Tak salah juga, jika publik mendesak agar setiap insan yang berhasrat ingin jadi pemimpin, perlu merenungi, berfikir keras, agar kuasa yang àkan diemban itu benar benar untuk kemaslahatan orang banyak. Setelah berselancar dan mengikuti sejarah singkat perpolitikan Sangihe pada kurun waktu beberapa tahun terahkir sebagaimana cacatan pertama, Penulis mencoba mengritisi keterkaitan dengan kwalitas kerja politik dari waktu kewaktu. Kalimat ingin melakukan perubahan yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat di Tampungan Lawo, perlu digaris bawahi, karena ungkapan janji itu sesunguhnya pemanis yang diulang ulang dari pemimpin satu ke peminpin penganti.
Tongkat estafet yang sejujurnya beralih dan seterusnya diharapkan mampu menaikan level keadaaan masyarakat yang lebih baik, itu yang kita gelorahkan dan pilih setelah lewati proses kampanye. Seharusnya, keadaaan masyarakat di 20 tahun lalu, sudah jauh lebih baik dibanding hari ini. Jika hari ini daya beli masyarakat terus menurun, ekonomi tak baik baik saja dan sama kondisinya di 2000an, bahkan tak ada satu pun kekayaan alam atau potensi daerah diperjuangkan menjadi tumpuan hidup dalam rangka pertumbuhan ekonomi rakyat ditampungang lawo, apalah artinya kekuasaan yang berganti ganti pimpinan itu.
Membiarkan keadaan tanpa perubahan, dan kekuasaan itu sekadar menjalani tugas normatif, tanpa keberanian untuk memboyong investasi besar, mengagas perubahan yang nyata untuk kehidupan yang lebih baik, apalah artinya kekuasaan yang berganti tangan, lantas mengakirinya dengan wujut nasib masyarakat sama level. Parpol parpol segala jenis yang terlah menghantar banyak pemimpin, juga bertanggung jawab atas ketimpangan yang ada didepan mata selama ini. Ini perlu dievaluasi untuk perbaikan.
Beberapa saat kedepan rakyat Sangihe kembali diperhadapkan dengan agenda pemilihan pimpinan daerah, memilih Tembonang u wanua (pimpinan daerah). Apakah perhelatan kali ini sama saja orientasinya. Merebut nikmat dan kemenangan hanya untuk ‘pesta pora’ sebagain orang, tanpa mengevaluasi keadaan masyarakat, adalah sebuah kemirisan. Apakah masyarakat sekadar di exploitasi untuk memuluskan kepentinga lalu dipaksa puas dengan keadaan yang sesunguhnya sangat tertinggal dari waktu ke waktu.
Banyak kalangan berharap, pada Pilkada 2024 kali ini rakyat bersatu mandatkan kepada Paslon yang sungguh sungguh punya hati dan berkemampuan mengubah impian impian masyarakat yang belum kesampaian selama ini. Kita meyakini keempat kandidat yang terlah terseleksi lewat parpol pengusung bahkan telah didaftar dan siap dipilih, adalah putra dan putri terbaik untuk masa depan kabupaten kepulauan Sangihe. Gunakan hak pilih kita untuk kesuksesan pilkada, karena ini menyangkut nasib bangsa didaerah ini.
Gambaran kedepan, kepemimpinan yang kokoh pendiriannya untuk kemajuan Sangihe, harus pula dibarengi keuletan masyarakat dan membuang kecendrungan masa bodoh. Kita memilih pemimpin yang punya hati, pemimpin cerdas yang àkan mampu menjembatani usaha usaha rakyat secara merata, tapi jika masyarakatnya tetap harus ‘dicambuk’ lambat dan pemalas, untuk mengkreasikan peluang peluang hidup, baik petani, nelayan, atau pelaku UMKM, siapapun pemimpin yang kita pilih, sekuat apapun dia, jika karakter dan pola pikir masyarakat tak diperbaiki, sama saja mundur.
Pola pikir tunggu tunggu bantuan, saweran politik, bak pengemis adalah sebuah kebiasaan yang harus dihindari jika ingin Sangihe lebih maju. Tak berlebihan kita berkaca dari negara negara tetangga berkembang yang sedang melangkah untuk maju, selain perbaikan SDM, mempertegas pemberantasan korupsi,juga mengubah pola pikir masyarakat untuk menjadi ulet. Contoh di China atau lebih dekat Malesia, tak ada pola pikir tunggu tunggu bantuan receh, kenapa? karena petaninya ulet, tak ada gengsi gensian. Itulah sebabnya kemandirian masyarakatnya lebih unggul dibanding kita Indonesia. Karena tak ulet, di Suply dari waktu ke waktu, pola pikir malas dan tak kreatif, kemiskinan akan selalu jadi proplem berkepanjangan.***
Eksplorasi konten lain dari Kliktimur
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.