Penulis : Heintje Mandagie
Ketum DPP Serikat Pers Republik Indonesia
Reformasi Polri—sebuah janji yang mahal dan mendesak—kini berada di persimpangan jalan, terancam lumpuh bukan oleh resistensi internal, melainkan oleh ‘ketakutan politik’ Komisi Percepatan Reformasi Polri. Di tengah sorotan tajam dan krisis kepercayaan publik, Komisi terlihat ragu untuk mengajukan rekomendasi penambahan anggaran operasional kepada institusi Polri.
Saat ini, Komisi Percepatan Reformasi Polri di bawah kepemimpinan Jimly Asshiddiqie, menjadi saksi bisu dari serangkaian keluh kesah dan pembeberan ‘kebobrokan’ yang menyelimuti institusi kepolisian. Dari aktivis kemanusiaan dan HAM, LBH, Ormas, hingga kalangan Pers, semua pihak seolah-olah memanfaatkan forum audiensi dengan Komisi ini sebagai “tempat buang hajat” untuk menumpahkan segala kritik atas perilaku oknum anggota Polri, dari pangkat terendah hingga jenderal berbintang.
Namun, di tengah derasnya sorotan dan kecaman yang menargetkan Polri secara institusi, kita perlu menarik napas sejenak dan melihat akar permasalahannya lebih dalam. Mengapa institusi sepenting Polri tampak begitu rentan terhadap ‘kebobrokan’?
Sorotan pada Gejala, Mengabaikan Akar Masalah
Persoalan di tubuh Polri, memang menjadi objek penderita dari kritik publik. Polisi disorot atas pelanggaran HAM, arogansi kekuasaan, hingga dugaan praktek korupsi.
Kritik ini valid dan perlu ditindaklanjuti. Namun, fokus yang terlalu tajam pada oknum berpotensi mengabaikan sistem yang melingkupinya. Narasi besar yang sering terlupakan adalah keterabaian negara terhadap institusi Polri itu sendiri.
Kemiskinan Struktural sebagai Biang Keladi
Fakta yang jarang diangkat ke permukaan adalah kondisi “kemiskinan struktural” yang melanda aparat kepolisian, terutama di tingkat operasional terbawah, yaitu Polsek.
Anggota Polri sering kali dibebani tugas yang berat, risiko tinggi, dan tuntutan moral yang tinggi, namun dengan tingkat kesejahteraan yang tidak proporsional. Gaji yang pas-pasan dapat menjadi celah bagi anggota untuk mencari “penghasilan tambahan” di luar prosedur, yang kemudian menjelma menjadi pungutan liar (pungli) atau praktik koruptif lainnya.
Keterbatasan anggaran operasional hingga ke tingkat Polsek memaksa anggota di lapangan untuk mencari solusi pendanaan mandiri. Misalnya, dana untuk penyelidikan, patroli, atau bahkan alat tulis kantor seringkali harus diupayakan secara swadaya atau melalui “sumbangan” dari pihak-pihak yang berkepentingan.
Inilah yang menciptakan lingkaran setan antara kebutuhan operasional dan potensi konflik kepentingan.
Defisit Struktural: Polsek Nggak Mampu Bertugas
Realitas di lapangan, bagi masyarakat pinggiran, jauh dari ideal. Rasio Keamanan Underperformed : Indonesia menghadapi defisit personel yang signifikan. Rasio polisi per warga hanya 166 petugas per 100.000 penduduk (1:602), jauh di bawah standar minimal PBB (1:400). Itu artinya Indonesia kekurangan polisi secara masif.
Meskipun anggaran Polri triliunan rupiah, Polsek di tingkat kecamatan—pintu gerbang negara—kerap menerima alokasi operasional yang minim secara tidak wajar. Pengakuan mantan pimpinan Polri tentang adanya Polsek yang hanya mendapat Rp 200 juta per tahun—hanya cukup untuk operasional empat bulan—menggambarkan krisis pendanaan yang akut.
Anggaran Mininim = Pungli Sebagai Survival Kit
Minimnya dana ini bukan sekadar masalah administrasi, melainkan pemicu utama penyimpangan yang merusak kepercayaan publik. Ketika dana negara untuk operasional (BBM, kertas, biaya penyelidikan) habis, personel Polsek dihadapkan pada dilema etika: menggunakan dana pribadi atau mencari “solusi alternatif” (Pungli) agar penugasan berjalan.
Tekanan operasional ini mengubah Pungli dari kejahatan menjadi mekanisme survival bagi petugas di lapangan. Konsekuensinya, Laporan Pidana Ringan (Tipiring) dan pengaduan masyarakat sering diabaikan atau disertai permintaan biaya tak langsung.
Bagi masyarakat miskin, ini adalah penghalang akses terhadap keadilan. Negara gagal hadir di saat warga paling membutuhkan perlindungan. Lambatnya respons dan adanya tuntutan biaya membuat warga enggan melapor kembali, menciptakan dark figure kriminalitas dan meruntuhkan kredibilitas institusi.
Lihat saja contoh kasus baru-baru ini, seorang anak kos di Bendungan Hilir (Benhil), Tanah Abang, Jakarta Pusat ramai diberitakan media, saat melapor malah diabaikan Polisi usai mendapatkan pelecehan seksual, lalu nekat melapor ke pemadam kebakaran (Damkar). Video petugas Damkar melabrak pelaku pelecehan seksual pun viral di media sosial dan diapresiasi oleh netizen.
Reformasi yang Gagal Menyentuh Anggaran
Reformasi Polri pasca-reformasi 1998 telah berfokus pada aspek struktural, regulasi,
Eksplorasi konten lain dari Kliktimur
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

