Catatan Kilas Balik (Bagian 1) : Meidi Pandean,SH

Sebuah kesuksesan yang diharapkan masing masing kontestan atau peserta pilkada merupakan impian terindah yang kini mulai tergambar dibenak empat kandidat pasangan calon yang secara resmi terdaftar sebagai peserta kontenstasi 2024 di Tanah Tampungang Lawo.
Kerinduan berbunga bunga untuk menjadi sang penguasa atau tembonang u wanua dengan status definitif yang dihormati dan dipuja puji sejak sistem pemilihan langsung diterapkan 2006 silam, harga sebuah kuasa itu mulai terbandrol dengan rupiah yang tidak sedikit.
Yang benar benar siap dari segala aspek itu, Ã kan digandrungi dan disenangi, rajin merangkul selama perhelatan, aktifitasnya selalu menghebohkan selama kampanye, punya maknit kuat perbesar pundi pundi suara dan biasanya pasangan yang memiliki itu pasti unggul, dengan konsekwensi mengeluarkan modal dan energi besar dari saku yang empunya kepentingan. Sekalipun hal itu pernah terbantahkan (ikuti kilas balik sejarah politik Sangihe)
Menengok sejarah perpolitikan di Sangihe ditarik benang merahnya sejak sistem pemilihan langsung diterapkan, Warga kepulauan yang ketika itu masih Sangihe -Talaud (SaTal) meletakan makhota ‘raja’ itu untuk yang pertama kali, kepada sang bupati dan wakil bupati pemilihan langsung yakni koalisi Golkar- PDIP alm Drs.Winsulangi Salindeho (WS)- Jabes Esar Gahgana saat wilayah otonom masih satu Nomenklatur dengan Porodisa Talaud dan Sitaro.
Melewati kekuasaan selama 5 Tahun WS- JEG sebagaimana ketentuan periodesasi_disela sela itulah perjuangan panjang belasan bahkan puluhan Tahun_dua komunitas besar Nusa Utara lahir dan resmi dinobatkan sebagai daerah otonom baru kabupaten kepulauan Talaud dan kabupaten kepulauan Sitaro. Secara otomatis, wilayah administrasi kabupaten induk Sangihe menciut karena harus melepes dua ‘saudaranya’ itu.
Kuasa yang dipegang alm Ws saat menjelang Akhir di September 2011, kedua Tembonang u Wanua itu ‘pecah kongsi’ dan pada urusan politik selanjutnnya Merah Kuning berhadap hadapan. Pilkada 2011 Golkar mengusung pasangan alm Drs. Winsulangi Salideho- Sifried Takarengkian Makagangsa, head to head dengan pasangan Heronimus Rompas Makagangsa (HRM)- Jabes Esar Gahgana.
Di era itu 2011, HRM-JEG unggul dan memenangkan pertarungan mengalahkan Ws bersama Makagangsa (Ws- Bermakna). Perjalanan tugas kedua Tembonang u Wanua ini, kebersamaannya juga tak begitu lama. Dan selanjutnnya urusan politik melewati lima tahun kepemimpinan, Masuk pada Pilkada 2017, keduannya ‘cerai’ bahkan HRM yang sebelumnnya mantan Mantan pamong senior, naik pamor, dan berhasil menggeser posisi JEG sebagai kader tulen dan ketua PDIP Sangihe terpental dari kandang banteng, komando beralih ke HRM
Gayung bersambut JEG dalam posisi tersolimi bahkan sejarah kelam bagi dirinya karena harus meninggalkan PDIP yang kurang lebih 16 Tahun diurus susah payah, seperti pribahasa, tak ada rotan akar pun jadi. JEG yang merasa tersudut dan kehilangan pegangan pada Pilkada 2017, atas ajakan sejumlah kader Golkar, dirinya langsung melingkar diakar pohon beringin dan resmi sebagai peserta Pilkada berpasangan dengan alm Helmut Hontong HH melawan pasangan HRM- Fransiscus Andi Silangen (FAS).
Dari perjalan perpolitikan Sangihe sejak pemilihan langsung itu, melahirkan tonggak sejarah baru, bahwa ketika kekuatan sebesar apapun, jika berhadapan dengan kekuatan rakyat bersatu, itu à kan sulit ditumbangkan. Sejarah membuktikan Pasangan JEG- HH unggul telak dari pasangan yang konon berkelimpahan amunisi berhasil tumbang. Situasi itu, langsung membantah kesimpulan banyak pihak, bahwa politik itu tak selamanya bisa dimenangkan dengan uang atau kekuasaan besar.
Situasi sengsara membawa nikmat itu lewat sekajab, dua tahun berlalu JEG meninggalkan kuasa yang direbut bersama HH. Tapi sayang, kecelakaan dalam dinas tiga tahun silam menimpa HH, menimbulkan duka yang mendalam bagi masyarakat kabupaten Kepulauan Sangihe terlebih keluarga. Situasi buruk itu dialami JEG karena wafatnya HH, di tengah perseteruan dua Tembonang u wanua itu lagi panas panasnya.
Kekecewaan, umpatan dan caci maki berjamaah pun berdatangan, dari segala penjuru menyerang JEG. Bahwa pula, ketika mandat rakyat yang diserahkan, lalu tak bisa diemban dengan baik bahkan berbanding terbalik dengan impian rakyat, itu adalah preseden buruk yang sama sekali sulit dipulihkan. Hari ini JEG tetap berusaha exis dengan mandat ketua Golkar yang masih ditangan, dia kembali mencalonkan diri, dan mungkin berharap adakah ruang pengasihan dari rakyat sebagaimana pernah dialami di 2017 silam,bertajuk kongkongnisasi pada Pilkada 2024 ini? Hal itu kita tanya langsung ke rakyat Tampungan Lawo.
Masa silam itu sudah berlalu, jadi kenangan yang mengharu biru, seburuk buruknya JEG, dia pernah membangun daerah ini, dia pernah jadi panutan, dia juga bukan manusia super, tapi demikianlah sistem pemilihan langsung itu, semua tergantung siapa disenangi rakyat. Bersambung…
Eksplorasi konten lain dari Kliktimur
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.